gazaseanews
Kabupaten Aceh Tamiang, yang biasanya dikenal sebagai salah satu wilayah paling hidup di perbatasan Aceh–Sumut, kini berubah drastis. Setelah banjir bandang dan rangkaian longsor menerjang pada Rabu, 26 November 2025, daerah ini seolah kehilangan denyut kehidupan. Banyak warga dan relawan menggambarkan kondisi wilayah tersebut dengan satu kalimat yang menggetarkan: “Seperti kota zombie.”
Bukan sekadar istilah dramatis — pemandangan yang tersisa memang mencerminkan situasi pascabencana yang nyaris tak terbayangkan.
Rumah Hancur, Listrik Padam, Jalan Hilang: Peta Kerusakan yang Menyayat Hati
Banjir bandang yang datang tiba-tiba menghantam permukiman, menggerus jembatan, memutus jalan antar-kecamatan, hingga meluluhlantakkan ribuan rumah. Sebagian wilayah bahkan tak lagi bisa dikenali wujudnya.
Lumpur setebal betis mengubur lantai rumah. Dinding yang sebelumnya kokoh kini runtuh. Puing-puing kayu, perabot, hingga sisa-sisa bangunan bertumpukan membentuk labirin kehancuran.
Bukan hanya bangunan dan fasilitas umum yang rusak, tetapi juga infrastruktur vital:
• Listrik padam total selama berhari-hari
• Jaringan telekomunikasi mati, membuat kontak dengan warga terputus
• Akses jalan utama terputus, menyebabkan beberapa kecamatan terisolasi
Kondisi inilah yang membuat wilayah tersebut tampak seperti kota mati — senyap, gelap, dan hanya menyisakan siluet reruntuhan.
Ribuan Kendaraan Teronggok Tak Bernyawa
Salah satu pemandangan paling mencolok adalah deretan kendaraan yang tersapu arus, tersangkut berjejer membentuk gulungan besi tak berbentuk.
Bus besar, mobil pribadi, minibus, hingga sepeda motor terlihat menumpuk sepanjang jalan hampir 5 kilometer, seperti bangkai yang ditinggalkan pemiliknya ketika melarikan diri dari derasnya air.
Di beberapa titik, kendaraan-kendaraan itu terbalik, terseret ke parit, atau menumpuk di tengah jalan tanpa bisa dipindahkan.
Pemandangan ini menguatkan kesan bahwa Aceh Tamiang benar-benar memasuki fase yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Gelap Gulita, Bau Bangkai, dan Kepanikan Warga: Satu Pekan Paling Muram
Ketika malam tiba, suasana Aceh Tamiang menjadi jauh lebih mencekam. Lampu tak menyala. Genset nyaris mustahil digunakan karena solar semakin langka. Jalanan sunyi tanpa satu pun kendaraan melintas.
Di beberapa lokasi, bau menyengat datang dari hewan ternak mati yang terbawa arus atau tertimbun lumpur. Sementara itu, warga yang selamat terpaksa bertahan di rumah rusak atau mengungsi ke tenda-tenda darurat dengan kondisi serba minim.
Beberapa relawan menggambarkan suasana tersebut sebagai “satu pekan paling panjang dan menakutkan sepanjang hidup warga.”
Putus Kontak Hingga 4 Hari: Warga Seolah Hilang dari Peta
Dalam empat hari pertama setelah bencana, tidak ada kabar dari beberapa kecamatan. Hilangnya listrik dan jaringan membuat wilayah itu seolah menghilang dari radar.
Petugas SAR, relawan, bahkan pemerintah daerah kesulitan memastikan jumlah korban, kerusakan, maupun kondisi warga.
Ketika akses perlahan terbuka, pemandangan yang muncul memperlihatkan skala kerusakan yang membuat banyak relawan meninggalkan lokasi dengan mata berkaca-kaca.
Kebutuhan Mendesak: Air Bersih, Logistik, dan Pasokan Medis
Banjir dan longsor tidak hanya memutus jalan, tetapi juga merusak pipa air bersih dan suplai sembako. Warga yang tinggal di pengungsian sangat membutuhkan:
• Air bersih dan makanan siap saji
• Selimut dan tenda tambahan
• Penerangan darurat
• Obat-obatan dan layanan medis
• Alat berat untuk evakuasi dan pembersihan
Tanpa pemenuhan ini, potensi masalah lanjutan seperti penyakit kulit, infeksi, dan kelaparan mulai menghantui para pengungsi.
Relawan & Donatur Mulai Masuk, Tapi Jalanan Masih Buntung di Banyak Titik
Bantuan dari berbagai penjuru mulai mengalir. Namun tantangannya besar. Banyak jalan masih tertutup material longsor dan sisa reruntuhan. Kendaraan logistik harus memutar jauh atau menunggu alat berat membuka jalur.
Walaupun begitu, harapan tetap bergerak pelan. Setiap harinya lebih banyak bantuan tiba, lebih banyak relawan masuk, dan lebih banyak titik yang dinyatakan aman untuk dijangkau.
Dari Kota yang Dihantam Bencana, Tersisa Kisah Ketangguhan
Di balik kehancuran, ada cerita perjuangan:
warga yang saling bantu, relawan yang tak kenal lelah, hingga orang-orang yang menolak menyerah meski rumah mereka hanyut, harta benda hilang, dan masa depan terasa gelap.
Aceh Tamiang memang tampak seperti kota zombie hari ini—
tetapi dari reruntuhan inilah semangat warga untuk bangkit akan tumbuh kembali.
Red - Saiful